728x90 AdSpace

  • Latest News

    Rabu, 03 September 2014

    Korupsi Telkom di BP3TI Kominfo

    Goyangnews -  Korupsi di lingkungan BP3TI (Balai Penyedia, Pengelola, Pendanaan Telekomunikasi dan Informatika) Ditjen PPI (Penyelenggaraan Pos dan Informatika) Kementerian Kominfo. Dahulu BP3TI disebut BTIP (Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan), yakni Badan Layanan Umum (BLU) dibawah Ditjen PPI yang menyelenggarakan Layanan Internet Kecamatan ke daerah-daerah terpencil atau perbatasan Indonesia.

    Adapun awal dari seluruh praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ini diawali dari keputusan mengenai tender yang diatur oleh oknum Dewan Syuro PKS (realisasinya hanya beberapa gelintir orang yang terlibat, lebih disebabkan karena banyak yang tidak mengerti tentang proyek ini. Tapi bagi yang benar-benar mengerti, telah menggila seperti kesetanan, agar dapat dana dari proyek ini). Mereka taunya beres, karena telah melimpahkan wewenang ini kepada Asen (julukan Dr. Adiseno) untuk diamankan. Tapi karena Asen merasa sering dikadalin oleh Panitia (beberapa titipan jagoan nya sering gagal di pelaksanaan tender), untuk akhir tahun 2011 ini, oknum PKS tersebut jadi gila-gilaan mengontrol pelaksanaan tender ini. Bahkan tidak sungkan-sungkan tim pelaksana beliau melakukan negosiasi langsung dengan peserta yang akan dimenangkan.

    Seluruh pelaksanaan tender di BP3TI (dulu BTIP atau ) dikontrol penuh oleh Asen (julukan Adiseno). Pelaksana nya Saut (bidang Teknis) dan Uut (negosiasi komitmen). Saut punya 2 staf: Ardi Kuntjoro dan Edwin Rovantara. Mereka yang bertugas berkoordinir dengan Panitia Tender (diketuai Berry) untuk mengatur spek teknis yang dipakai dan tim penilainya, karena ada konsultan juga yang diundang, biar seolah-olah ada tim independent nya (namun keputusan tetap di Berry). Atas jasa menggunakan merk yang dipakai, maka tim teknis ini meminta fee sekitar 10%-20% dari vendor. Pendapatan ini tidak diinformasikan ke pimpinan PKS, karena ini dianggap kreativitas tim pelaksana dan sebagai pendapatan untuk menutupi operasional mereka.

    Sedangkan disisi negosiasi komitmen, Uut memiliki 2 staf: Lutfi dan Johan Neesken. Tim yang ini agak garang. Negoasiasi dengan para peserta yang akan dimenangkan telah berjalan 3 hingga 6 bulan sebelum tender dimulai.

    Karena persyaratan perusahaan yang ikut harus memiliki ijin NAP dari Postel-Kominfo, maka tim lapangan PKS terus bergerilya untuk melakukan meeting-meeting. Biasanya di Citos (Cilandak Town Square), Arcadia-Plasa Senayan, Kuningan Suit, Oakwood (atau seputaran Mega Kuningan), dan sebagainya. Bagi vendor yang siap untuk menerima kondisi pembayaran fee 15% dimuka akan mendapat wilayah kerja yang lebih gemuk.Karena banyak vendor yang tidak gampang percaya, maka akhirnya diganti menjadi beberapa tahap, tergantung negosiasi, misalnya 30% saat pengumuman pemenang, 40% saat pencairan DP, dan 30% sebulan kemudian.
    Untuk memastikan bahwa jagoan-jagoan yang dititipkan ini bakal menang, maka tender seperti biasa dibagi dalam 2 sampul (seperti tahun-tahun sebelumnya), tapi pemasukan dokumennya (administrasi, teknis dan harga) sekaligus. Tahap pertama adalah pembukaan sampul teknis, tahap kedua adalah pembukaan sampul harga. Antara tahap pertama dan kedua ada jeda beberapa hari. Unik nya, dokumen yang akan dijadikan pemenang, dapat keluar / dicabut dari panitia untuk dilengkapi lagi oleh peserta yang akan dimenangkan tersebut, jika ada yang kurang lengkap atau kurang benar agar nilai administrasi dan teknis nya sempurna. 


    Tentunya perbaikan dokumen ini harus selesai dalam 1 malam, agar tidak banyak yang curiga. Sama hal nya dengan harga. Seluruh dokumen harga yang masuk, di ‘intip’ oleh mereka (tentunya kerjasama dengan panitia), sehingga harga dari peserta lain (yang ada dibawah peserta yang akan dimenangkan) akan digugurkan secara administrasi atau teknis. Ini cara gampang tentunya panitia terlibat didalamnya.

    Untuk menjaga agar peserta yang akan dimenangkan tersebut tidak membanting harga (sekalipun sudah disepakati sejak awal bahwa harga dikontrol oleh Tim PKS), maka amplop harga yang tidak sesuai dengan kesepakatan, diminta ditukar dan dimasukkan harga baru (selisih harga menjadi milik Tim PKS). seluruh nya sudah diatur rapi agar secara administrasi dan teknis, semua dokumen yang tercata sudah sesuai prosedur.
    Jadi jika ditanya apakah pelaksanaan tender sesuai dengan aturan Perpres 54/2010, jelas jawabannya YA, karena secara administrasi semua sudah dijalankan secara prosedur. Tapi jika ditanya cara pelaksanaanya, tentunya tidak satupun bisa membuktikan dimana letak pelanggarannya.


    Jika KPK atau LKPP ikut serta mengawasi jalan nya tender ini sejak awal,  maka kemungkinan kebocoran diatas pasti dapat dikurangi. Masalahnya, tidak ada wakil KPK atau LKPP dalam setiap pelaksanaan tender tersebut.

    Semua yang terlibat atau disebutkan di atas harus diawasi penuh oleh KPK/Bareskrim/Kejaksaan atau pihak yang berwenang, jika ingin menangkap mereka. Kalau perlu telepon mereka disadap semua (HP, telepon rumah, kantor, istri, keluarga), termasuk Dewan Syuro. Juga perlu dibuntuti sepanjang hari, kapan mereka akan mengambil dana dari pemenang tender.

    Untuk tender NIX, tanggal 21 November 2011 sudah diumumkan, sekalupun agak aneh. Peseta difax satu persatu pada hari Sabtu (Tanggal pengumuman pemenang administrasi dan teknis tertulis Jumat, 18 November 2011). Ini strategi dari panitia (Berry cs) agar peserta yang digagalkan tidak marah besar saat hari kerja. Karena peserta tahun lalu yang menang dan bekerja dengan benar tapi sulit diajak negosiasi masalah fee (seperti Telkom, Lintasarta, dan lain-lain) seluruhnya digugurkan, diganti peserta abal-abal yang tidak jelas, apakah dapat bekerja dengan baik sesuai spesifikasi teknis yang diwajibkan. Karena kenyataannya, tahun lalu, peserta yang abal-abal banyak yang terlambat atau macet, seperti PT. SIMS (untuk proyek PLIK Jawa Barat), Jastrindo (untuk proyek Jawa Tengah), SATNET (untuk NIX Phase 1 di Ternate dan Jayapura), SMS (untuk proyek SIMMLIK Jakarta). Hingga sekarang tidak jelas, kapan proyek-proyek yang macet tersebut dibereskan.


    Dalam pelaksanaannya, atas tekanan PKS ke staf pelaksana di BP3TI, maka uji fungsi dan serah terima pekerjaan agak dipaksakan untuk diterima, biar tidak masalah dalam temuan BPK. Kenyataannya, jika setiap Peserta Titipan tersebut diminta untuk membuktikan bahwa jaringan yang mereka pasang sudah online dengan menunjukkan bukti historis berupa online Traffic MRTG (monitoring routing traffic grapher), tentunya mereka tidak dapat menunjukkan versi online nya, karena MRTG juga direkayasa untuk serah terima pekerjaan tersebut. Banyak tipu menipu untuk mengamankan peserta titipan ini, karena sejak awal memang sudah bermasalah. Salah satu keributan yang belum mereda adalah konflik antara SIMS (pimpinan Gugun/adiknya Agum Gumelar) dengan ISATNET (mitra SIMS yang dipimpin Freddy Candra). Disini posisi oknum PKS tersebut jelas cuci tangan, karena dana pemenangan sudah mereka terima, dan tidak mau ambil pusing atas permasalahan yang terjadi saat implementasi nanti.

    Aseng (julukan Dr.Ir. Adiseno), banyak mengenal vendor, termasuk mengatur siapa vendor-vendor yang diterima, seperti produk Juniper (kerjasama dengan Deddy Nurcahyo, Enterprise Account Manager), sehingga tidak heran, dari paket NIX (Phase I dan II), SIMMLIK, Upstream Internet, dan Internasional IX semua produk jaringan dikuasai merek Juniper.

    Latar belakang Dr. Ir. Adiseno (adiseno@kominfo.go.id) sebelumnya bertugas di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Bandung – Cisitu), sejak Awal Januari 2010, ditunjuk Ucok (Tifatul Sembiring) sebagai anggota BRTI menggantikan Prof. Abdullah Alkaff. Pendidikan: S-3 Royal Institute of Technology-Swedia (2003), S-1 Delft Universite of Technology (1994), SMA Negeri II di Bandung, SMP Negeri 15 di Bandung, SD GIKI di Bandung. Status kepegawaian: PNS (NIP 196711141987011001, sejak 1 Januari 1987).gbr2
    Korupsi pada proyek Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) Rp. 78 milyar oleh Dirut PT Telkom Arif Yahya bersama PT. Geosys Alexindo.

    Korupsi TELKOM yang pertama yang akan dibahas adalah korupsi yang dilakukan Direktur Utama TELKOM Arif Yahya. Kerugian negara sekitar Rp. 78 Milyar. Korupsi Rp. 78 Milyar ini dilakukan Arif Yahya sebelum dia menjabat Dirut Telkom. Saat itu dia sebagai Direktur EWS (Enterprise & Wholesale) TELKOM, pejabat yang bertanggung jawab dalam pengerjaan proyek MPLIK.

    PT. Telkom adalah BUMN pemenang tender pengadaan MPILK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan) dari BP3TI Kominfo RI. Paket yang dimenangkan TELKOM terdiri dari paket 4,12,13,14,17 dan 20 diberbagai wilayah Indonesia total 588 unit MPILK senilai Rp. 520 M. Sesuai dengan kontrak, seluruh unit MPLIK harus siap beroperasi pada tanggal 26 Maret 2012. Penanggungjawab adalah Arif Yahya sebagai Direktur EWS TELKOM.

    Proyek MPLIK dikerjakan oleh EGM Dives dengan struktur pelaksanaan sebagai berikut : dibentuk konsorsium rekanan, tugas masing-masing rekanan, bisnis model dan tahapan pembayaran proyek seperti yang ada dalam kontrak perjanjian.

    Konsorsium rekanan terdiri dari : Direktorat EWS, PT. PIN, PT. Geoys dan PT. Metra dengan PT. TELKOM sebagai penanggungjawab utama. Khusus untuk pelaksanaan proyek ini, sesuai dengan peraturan internal PT. Telkom, Arif Yahya sebagai Direktur EWS TIDAK PUNYA kewenangan transaksional. Kewenangan diberikan pada unit bisnis Dit EWS yaitu EGM Dives dengan limit maksimum transaksi Rp. 25 Milyar.

    Kewenangan pengadaan di atas Rp. 25 milyar sesuai kententuan internal TELKOM ada pada Direktur Utama atau Direktur Procurement Telkom. Lalu bagaimana modus Arif Yahya Dir EWS PT. Telkom saat itu melakukan korupsinya? Mari kita bongkar satu persatu.

    Pertama : Arif Yahya sebagai Direktur EWS TIDAK PERNAH menyampaikan laporan terhadap struktur konsorsium kepada Rapat Direksi Telkom. Kedua : Direksi Telkom juga tidak pernah mendapatkan laporan tentang kontrak, aspek legal, keputusan-keputusan dan lain-lain yang dilakukan konsorsium. Padahal, ada surat BP3TI Kominfo tanggal 9 Januari 2012 dan nota dinas Direktur Compliance & Risk Management (CRM) Prasetio tanggal 3 Feb 2012.

    Kedua surat dan nota dinas tersebut tidak pernah ditanggapi dan ditindaklanjuti oleh Arif Yahya selaku Direktur EWS ke Dewan Direksi. Arif Yahya sengaja menyembunyikan kedua surat tersebut agar tidak diketahui dewan direksi TELKOM agar dia bisa melakukan penyimpangan.

    Pada tanggal 8 Mei 2012 Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah melalui Disposisi kepada Direktur EWS untuk meminta tindaklanjut solusi. Disposi Dirut Telkom itu untuk atasi keterlambatan yang berisiko terhadap pengenaan denda dan sanksi lain (perdata/pidana) sesuai Perpres 54/2010.

    Disposisi Dirut Telkom itu juga ditembuskan ke Chief Operating Officer (COO), Direktur CRM, Dirkeu Sudiro Asno dan Komut Jusman S Djamal. Terhadap disposisi Dirut Telkom itu, TIDAK ADA tanggapan sama sekali apalagi tindak lanjut dari Direktur EWS Arif Yahya.

    Akibat dari penyimpangan yang dilakukan oleh Arif Yahya tersebut, Arif Yahya dipastikan sudah melanggar hukum dan melakukan penyalahgunaan wewenang. Arif Yahya selaku Direktur EWS secara diam-diam tanpa sepengetahuan Dewan Direksi Telkom telah menunjuk PT. Geosys sebagai rekanan secara melanggar hukum.

    PT. Geosys ditunjuk secara langsung oleh Arif Yahya tanpa adanya syarat-syarat yang memadai untuk itu dan tanpa melalui prosedur. Penunjukan oleh Arif Yahya itu adalah diluar kewenangannya. Belakangan diketahui bahwa PT. Geosys itu adalah MILIK Arif Yahya sendiri bersama – sama Adiseno !!

    Perjanjian atau kontrak kerja antara Telkom dengan Geosys ditandatangani Abdus Somad Arif Vice President EWS Telkom, staf Arif Yahya. Abdus Somad kini diprosimosikan Arif Yahya sebagai Direktur Network PT. Telkomsel sebagai upah balas jasa membantu Arif Yahya korupsi di Proyek MPLIK atau bisa jadi sebagai upah jasa tutup mulut terhadap korupsi – korupsi Arif Yahya di Telkom.

    Arif Yahya juga kemudian secara diam-dia telah melakukan pembayaran kontrak uang muka dari BP3TI sekitar Rp. 30 Milyar kepada PT. Geoysis. PT. Geosys selain milik Arif Yahya sendiri juga sahamnya dimiliki oleh Staf Ahli Menkominfo yang bernama Adiseno (duh, Lagi2 PKS !)

    Kepemilikan saham PT. Geoysis oleh Arif Yahya dan Adiseno ini memang tidak secara langsung tapi atas nama orang lain sebagai bonekanya. Setelah menerima uang muka Rp. 30 milyar tadi, PT. Geoysis yang berkewajiban melakukan pengadaan, karoseri dan sistem dilaporkan BANGKRUT ! Semua yang menjadi kewajiban PT. Geoysis ini tidak ada yang dipenuhi sama sekali kepada PT. TELKOM. PT. Geosys ini hanya perusahan abal-abal !

    Arif Yahya melapor ke Dewan Direksi setelah dewan direksi mengetahui penyimpangan/korupsi ini. Arif Yahya berjanji akan cari solusi. Arif lalu melaporkan adanya upaya pengambilalihan (takeover) kewajiban PT. Geosys oleh perusahaan lain yang kemudian diketahui abal-abal juga. Ternyata laporan tentang rencana pengambilalihan kewajiban PT. Geoysis oleh perusahaan lain itu hanya strategi Arif Yahya untuk mengulur-uur waktu.

    Sudah menjadi rahasia umum dan menjadi kesimpulan komisi I DPR bahwa Proyek MPLIK Telkom – Kominfo jadi bancakan pejabat-pejabat kedua instansi tersebut. Proyek 1.4 Triliun yang dimaksudkan untuk pengadaan jasa internet rakyat di seluruh kecamatan di Indonesia dilaksanakan secara asal-asalan.

    Tentu tidak sembarangan menuduh staf khusus menkominfo Adiseno dan Dirut Telkom Arif Yahya terlibat dalam korupsi proyek ini.

    Kejaksaan Agung terlalu lamban mengusut perkara kasus korupsi proyek Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) Tahun 2010–2012 senilai Rp1,4 triliun yang melibatkan PT Telkom Indonesia Tbk sebagai pemenang tender terbesar. Arief Yahya (sekarang menjabat Dirut Telkom) dan Alex J. Sinaga (sekarang menjabat Dirut Telkomsel) diduga terlibat kasus ini. Kejagung sejauh ini telah menetapkan dua orang tersangka yaitu Doddy Nasiruddin Ahmad (Direktur PT Multi Data Rencana Prima) dan Santoso (Kepala Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BPPPTI). Berbagai pihak mendorong Kejagung untuk bertindak lebih tegas termasuk dugaan keterlibatan Arief Yahya yang saat proyek digulirkan menjabat sebagai Direktur EWS (Enteprise Whole Sale) PT Telkom.

    2. Korupsi proyek IT di PT. Pelindo II senilai 105 milyar. Proyek PT. Telkom dan Pelindo II yang ditujukan untuk migrasi IT Pelindo itu dimark up. Dari harga semula Rp. 26 Milyar menjadi 105 M.

    Arif Yahya yang dulu adalah Direktur EWS Telkom lakukan KKN dengan tunjuk dan subkon kan proyek tersebut kepada PT. Sigma. Penunjukan PT. Sigma sebagai pelaksana proyek Migrasi Pelindo II tanpa persetujuan dan sepengetahuan dewan direksi PT. TELKOM.

    Modus korupsi Dirut Telkom Arif Yahya sewaktu jadi Direktur EWS Telkom ini selalu dengan cara melanggar kewenangannya sebagai Direktur EWS TELKOM. Sebagai Direktur EWS, Arif Yahya tidak punya kewenangan untuk lakukan transaksi di atas 25 milyar. Tapi itu selalu dia langgar.

    Jika pada proyek MPLIK Kemenkominfo, Arif Yahya transfer Rp. 28.5 Milyar ke perusahaan bodong PT. Geosys, pada proyek Pelindo modusnya mark up. Pada proyek migrasi IT Pelindo II tersebut, selisih mark up sebesar Rp. 79 milyar dibagi-bagi dan dinikmati oleh Arif Yahya dan direksi Pelindo II.

    3. korupsi PT. Telkom masih pada proyek pengadaan kabel optik senilai 5.7 triliun yang merugikan negara sekitar 2,3 T. Kerugian negara pada proyek pengadaan kabel optik Telkom itu terkait dengan penentuan harga tembaga milik Telkom yang hanya 60% dari harga pasar. Padahal harga tembaga tidak pernah turun dan terus naik selama 10 tahun terakhir ini. Serta penunjukan PT. INTI sebagai kontraktor pengadaan kabel optik TELKOM dilakukan secara langsung /non tender.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Korupsi Telkom di BP3TI Kominfo Rating: 5 Reviewed By: antz
    Scroll to Top